Rumah adat Cikondang versus gempa Jawa ? Tak sedikitpun rusak.
Rumah adat di Cikondang yang terletak di RT 003 RW 03 Kp.Cikondang, desa Lamajang, Kec. Pangalengan, kabupaten Bandung, masih berdiri kokoh, kendati daerah tsb terkena dampak gempa berkekuatan 7,3 SR yang terjadi Rabu ( 2/9/2009 ). Kearifan lokal mencuat dari bangunan berwarna coklat sederhana itu, seakan menjawab tantangan, tak goyah diterjang gempa.
Tak seperti ratusan rumah di sekitarnya yang retak hingga ambruk akibat gempa, rumah berukuran 12 x 8 meter tsb, berdiri tegak seperti biasa. Nyaris tak ada yang berubah. Atapnya beralaskan ijuk, dengan dinding gedeg. Tak ada kerusakan, selain faktor usia bangunan dan minimnya perawatan, yang telihat pada 5 jendela yang menghiasi dinding, dan satu pintunya. Begitu pula pada 9 saregseg yang berdiri kokoh pada setiap jendela.
“Waktu gempa kemarin, gentingnya juga tidak jatuh satu pun, tidak ada yang rusak,”ucap Iin Dasyah ( 74 ), sesepuh kampung adat Cikondang. Kalimat Iin memang beralasan, bentuk rumah panggung yang diusung, memang menjadikan konstruksinya fleksibel sehingga tahan gempa.”Keistimewaan rumah panggung memang anti gempa. Kalau orang dulu itu kan tidak mewah, jadi waktu itu ada pantangan, jangan membuat rumah dari batu, karena berbahaya kalau ada gempa,” tutur Iin. Penggunaan genting juga dinilai tabu oleh Iin.”Genting kan terbuat dari tanah. Kalau orang dulu punya pemikiran, masih hidup kok dikubur di bawah tanah,” ucap Iin sambil tersenyum.
Kampung Cikondang sendiri merupakan kampung adat yang terletak di kaki gunung Tilu. Rumah adat Cikondang adalah peninggalan leluhur bernama Ma Empuh yang hidup di abad ke-16. Keberadaan kampung ini dilindungi Undang2 no.5 tahun 1992 tentang Situs dan Benda Cagar Budaya. Hingga tahun 1942, jumlah rumah adapt beratap ijuk di kampung ini ada 60 rumah. Namun, kebakaran besar di tahun itu telah menghanguskan 59 rumah adat lainnya. Hanya satu yang tersisa dan bertahan hingga kini.
Hengki Ashadi, pakar bangunan tahan gempa dari Universitas Indonesia, setuju jika konstruksi seperti rumah adat Cikondang tak goyah diterjang gempa.”Bahkan kalau dilihat-lihat, seluruh rumah adat di Jawa Barat itu sebenarnya tahan gempa. Itu menunjukkan bahwa sesepuh kita sangat mengerti keadaan alam sekitarnya,” ucap Hengki.
Modernitas dan kebutuhan urban, membuat masyarakat kian jauh dari niat melestarikan rumah adat. Padahal detail konstruksi rumah modern bisa dipelajari dari rumah adat. Salah satu caranya dengan menggunakan atap ringan, dinding jangan menempel pada tiang utama, beri jarak 2 cm, agar ada ruang fleksibel jika rumah digoyang gempa. ( PR, 7/9/2009 )
----------------------------------------------------------------------------------
Gempa dan Rumah Tradisional Sunda
Rabu, 30 September 2009 | 11:20 WIB Oleh JAMALUDIN WIARTAKUSUMAH
Gempa bumi berkekuatan 7,3 skala Richter pada 2 September 2009 yang berpusat di laut selatan Tasikmalaya membuat Pulau Jawa bergetar. Akibat khas dari gempa besar ini adalah banyaknya rumah yang hancur karena dinding dan atap runtuh atau gentengnya lepas dari reng, terutama di daerah yang dekat dengan episentrum.
Kebanyakan bangunan yang rusak tersebut adalah rumah tembok dengan atap genteng. Sementara rumah yang dibangun dengan cara dan material tradisional relatif aman, seperti di Kampung Dukuh, Cikelet, Garut (Kompas, 14/9/2009).
Rumah-rumah tradisional Sunda, baik yang terdapat di dalam kampung adat, seperti Kampung Kuta, Ciamis; Kampung Naga, Tasikmalaya; Cikondang, Bandung; serta Desa Kenekes, Lebak; maupun di luar kampung adat umumnya berbentuk panggung. Bangunan tidak seluruhnya menempel pada tanah, tetapi dihubungkan dengan tiang yang disangga batu tatapakan yang berfungsi sebagai kaki.
Dengan demikian, ketika terjadi lini (gempa), getarannya diredam oleh batu tatapakan sehingga meskipun bangunan turut oyag (bergetar), rumah relatif dapat bertahan menerima beban getar gempa bumi sampai kekuatan tertentu.
Model rumah panggung dalam masyarakat Sunda tradisional terus dipertahankan. Salah satunya dasarnya adalah karena merupakan adaptasi dari kosmologi Sunda yang membagi jagat raya ke dalam tiga tingkatan: buana nyungcung, tempat para dewa atau Tuhan; buana panca tengah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya; dan buana larang, tempat orang yang telah meninggal, yaitu tanah.
Rumah dibuat berbentuk panggung agar buana panca tengah yang direpresentasikan oleh rumah (imah dan bumi) tidak langsung berada di atas tanah, tetapi harus diberi jarak. Bahan rumah tidak boleh menggunakan material berbahan baku tanah, seperti genteng dan bata, karena tanah tempat untuk orang meninggal. Dengan material bahan tanah, artinya manusia yang masih hidup telah dikubur.
Desain
Teori yang secara langsung dapat dianggap mendasari konsep desain rumah tradisional diungkapkan Karl Popper dan EH Gombrich berupa teori deterministik yang disebutnya logika situasi, yaitu bahwa manusia dibatasi oleh waktu, tempat, dan kondisi, yang meskipun demikian masih memiliki derajat kebebasan untuk mencapai tujuan alternatif. Umumnya, faktor alam, seperti iklim dan geografi-termasuk adanya gempa bumi-sangat relevan dalam pengembangan desain bangunan (John A Walker: 1989).
James Fitch dan Daniel Branch mengutarakan teorinya bahwa penentu desain dalam masyarakat primitif (tradisional) adalah lingkungan, seperti Eskimo dan Indian, Amerika Utara, bergantung pada material alam khas yang ada di lingkungannya. Salju bagi orang Eskimo dan kulit binatang dan ranting kayu bagi orang Indian adalah material yang dipakai untuk hunian mereka.
Agar dapat bertahan, mereka harus membangun hunian dengan material yang cocok dengan kondisi alam dan iklim lokal. Selain faktor alam, faktor pola hidup juga memberi bentuk terhadap cara manusia membangun model hunian. Masyarakat peladang berpindah akan berbeda dengan masyarakat petani sawah dan apalagi masyarakat industri dalam caranya mengembangkan hunian.
Masyarakat dengan lingkungan yang sering terjadi peperangan akan membangun benteng pertahanan. Belanda membangun rumah model mereka di Indonesia dengan bukaan lebar dan plafon tinggi untuk mengurangi hawa panas. Masyarakat dengan tanah yang sering gempa akan membangun rumah yang dapat bertahan dari getaran gempa. Rumah tradisional merupakan hasil dari kearifan pragmatis yang telah berlangsung berabad-abad.
Menurut Victor Papanek (1995), arsitektur vernakular-dalam hal ini bangunan tradisional-didasarkan atas pengetahuan praktis dan teknik tradisional, yang menunjukkan kualitas pertukangan tertinggi yang dimiliki. Struktur desain rumah tradisional cenderung mudah dipelajari dan dipahami secara teknis. Material yang dipakai sebagian besar diambil dari lingkungan sekitar.
Dari segi bentuk dan penggunaan material, bangunan tradisional merupakan solusi yang tepat dipandang dari segi ekologi dalam arti cocok dengan iklim, lingkungan-termasuk kemungkinan terjadinya gempa yang didasarkan pada pengalaman-dan cara hidup masyarakatnya. Rumah tradisional tidak bersifat menonjolkan diri, tetapi menyelaraskan diri dengan karakteristik alam sekitar.
Pembuatan rumah tradisional merupakan gabungan dari material, alat, dan proses. Dalam konteks desain tradisional Sunda, tampak bahwa setiap material yang dipakai memiliki karakteristik khas sehingga memerlukan alat khusus yang juga khas untuk mengolahnya melalui pembuatan dan pemasangan tertentu sesuai dengan sifat material dan kemampuan alat. Sifat material dan jenis bambu, misalnya, disesuaikan dengan sifat khas bambu tersebut. Bambu bersifat lentur sehingga dapat bertahan terhadap pengaruh getaran gempa bumi. Perubahan
Bangunan tradisional dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat, terutama dalam tata cara mendirikan bangunan dan perhitungan atau aturan mendirikan bangunan berdasarkan budaya dan kepercayaan setempat, seperti perhitungan waktu yang tepat, arah hadap bangunan, lokasi, fengshui, dan berbagai upacara yang menyertai berbagai tahapan pembangunan.
Meskipun rumah tradisonal berakar pada nilai-nilai tradisional, menyimbolkan kontinuitas di dalam masyarakat, pada bagian tertentu tampak adanya sejumlah perubahan. Contohnya adalah rumah-rumah di Kampung Kuta, Ciamis. Material baru hasil industri seperti kaca, seng, dan kayu lapis secara terbatas telah dipakai, sementara model rumah panggung terus dipertahankan. Selain alasan adat, warga Kampung Kuta juga punya alasan teknis, yaitu karena tanah di kawasan itu labil dan solusi terbaik untuk kondisi alam tersebut adalah tetap dengan model rumah panggung.
Sekarang kita menyaksikan pengaruh pembangunan dan modernisme yang menempatkan model rumah tradisional sebagai sesuatu yang dianggap ketinggalan zaman sehingga perubahan model rumah tidak terelakan, khususnya di luar kampung adat.
Rumah panggung berganti dengan model rumah langsung di atas tanah, yang menyebabkan perubahan berantai: lantai papan berubah keramik, dinding bilik anyaman bambu diganti dengan bata, dan tembok dengan sistem fondasi dan konstruksi sebagian kurang memadai untuk dapat menahan gempa bumi.
Agar dapat bertahan dari goyangan gempa bumi, selain fondasi yang baik, dinding bata minimal memerlukan beton bertulang di sekeliling dinding bata sebagai pengikat struktur, berupa sloof, ringbalk, dan kolom praktis.
Sayangnya, rumah-rumah tembok di pedesaan jarang sekali yang menggunakan konstruksi demikian.
JAMALUDIN WIARTAKUSUMAH Dosen Desain Itenas
bermanfaat untuk nambah pengetahuan tentang Arsitektur Tradisional
ReplyDeleteTerimakasih atas informasinya..